1. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam kepada Ummu ‘Athiyah radiyallahu ‘anha (seorang wanita juru khitan) :
أُخْفُضِي وَلَا تُنْهِكِي فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ أَحْضَى لِلْزَوْجِ
“Khitanlah (anak-anak perempuan), tetapi jangan dipotong habis! Karena sesungguhnya khitan itu membuat wajah lebih berseri dan membuat suami lebih menyukainya”. Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (5271), Imam Al Hakim (3/525), Imam Ibnu ‘Adi di dalam AL Kamil (3/1083) dan Imam Al Khatib didalam Tarikhnya (12/291).
2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam :
ِإذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila dua khitan (khitan laki-laki dan khitan perempuan) sudah bertemu, maka sudah wajib mandi”. Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi (108-109), Imam Syafi’I (1/36), Imam Ibnu Majah (608), Imam Ahmad (6/161), Imam Abdurrazzaq (1/245-246) dan Imam Ibnu Hibban (1173-1174- Al Ihsan).
Didalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam menisbatkan khitan untuk para wanita. Maka ini menjadi dalil tentang disyariatkan juga khitan bagi mereka (wanita, red).
3. Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radiyallahu ‘anha secara marfu’ :
اِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْخُسْلُ
“Apabila seorang lelaki telah berada di atas empat bagian tubuh istrinya, dan khitannya telah menyentuh dengan khitan istrinya, maka sudah wajib mandi”. Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (1/291 – Al Fath), Imam Muslim (349- Imam Nawawi), Imam Abu ‘Awanah (1/289), Imam Abdurrazaq (939-940), Imam Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan Imam Baihaqi (1/164).
Di dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam juga mengisyaratkan adanya dua tempat khitan, yaitu pada seorang lelaki dan pada seorang perempuan. Maka hal ini menunjukkan bahwa seorang perempuan juga dikhitan.
Imam Ahmad rahimahullah berkata : Didalam hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa para wanita dahulu juga dikhitan.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, ?Aku mendengar Nabi bersabda, ‘Fitrah itu ada lima; khitan, mencukur bulu kemaluan, menggunting kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.? (HR.Imam Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i dan Ibn Majah). Selanjutnya bisa
Pendapat Para Ulama Mengenai Masalah Khitan Wanita
1. Imam an-Nawawi (Syarah Muslim, I: 543) berkata, “Khitan hukum-nya wajib menurut Imam asy-Syafi’i dan kebanyakan para ulama, sedangkan menurut Imam Malik dan para ulama yang lain adalah sunnah. Menurut Imam asy-Syafi’i, ia wajib bagi kaum laki-laki dan wanita juga.”
2. Ibn Qudamah berkata di dalam al-Mughni (I:85), “Ada pun khitan, maka ia wajib bagi kaum laki-laki dan kehormatan bagi kaum wanita. Ini merupakan pendapat banyak ulama?” Imam Ahmad berkata, “Bagi laki-laki lebih berat (ditekan-kan).” Kemudian beliau menyebut-kan alasannya sedangkan bagi wanita menurutnya lebih ringan. (al-Mughni, I: 85)
Hadits dan pendapat ulama tentang khitan wanita / sunat perempuan, selengkapnya bisa dibaca di : http://www.kajianislam.net/modules/smartsection/item.php?itemid=183
Silakan dibaca, dipikirkan dan diputuskan sendiri apakah anda akan menyunat bayi perempuan anda atau tidak.
Khitan Dapat Menyeimbangkan Libido Seksual Wanita
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ya, wanita wajib berkhitan. Dan, khitannya dengan cara memotong selaput di ujung klitoris yang bentuknya seperti jengger ayam jantan. Rasulullah n bersabda pada seorang pengkhitan wanita : “Potonglah bagian atas dan jangan berlebihan. Sebab, itu lebih membinarkan wajah dan lebih nikmat untuk dirinya saat bersama suami.” Maksud beliau, jangan banyak-banyak dalam memotong. Demikian, karena tujuan khitan laki-laki adalah membersihkannya dari najis yang mengendap di bawah kulit kulup. Sedangkan, tujuan khitan wanita untuk mengendalikan syahwatnya. Apabila wanita dibiarkan tak berkhitan, maka ia akan memiliki syahwat yang sangat besar. Oleh karena itu, dalam ejek-ejekan dikatakan, “Hai anak wanita tak berkhitan.” Sebab, wanita yang tak berkhitan suka berlagak genit pada kaum lelaki. Dan, inilah di antara perbuatan keji yang banyak ditemui pada kaum wanita bangsa Tatar serta Eropa, dan tidak nampak di kalangan wanita muslimin. Namun, apabila khitan dilakukan secara berlebihan, maka syahwatnya akan melemah, sehingga keinginan suami (dalam berhubungan intim) tak bisa sempurna. Namun, apabila dipotong dengan tidak berlebihan, maka keinginan suami pun akan tercapai dengan penuh keseimbangan.”[4]
Sa’ati, dalam Bulughul Amani, berkata, “Hikmah disyariatkannya khitan –sebagaimana dinyatakan Imam Ar-Razi- bahwa kulit ujung dzakar sangat sensitif. Bila ujung dzakar selalu tertutup kulup, maka kenikmatan saat bersenggama terasa luar biasa. Namun, bila kulup dipotong, maka ujung dzakar menjadi lebih tebal dan kenikmatan pun berkurang. Hal ini selaras dengan syariat kita, yakni mengurangi kenikmatan dan tidak menghilangkannya sama sekali, sebagai bentuk sikap pertengahan antara berlebihan (ifrath) dan tak ada sama sekali (tafrith).
Sa’ati berkata, “Hal di atas juga berlaku pada khitan wanita, berdasarkan riwayat Abu Dawud, Hakim dan Thabrani, bahwa Nabi n berkata pada Ummu ’Athiyyah –tukang khitan anak-anak perempuan–, “Khitanilah dan jangan berlebihan. Sebab, itu lebih mencerahkan wajah –yakni air dan darah yang mengalir ke wajah bisa lebih banyak– dan lebih nikmat saat bersama suami,” yakni lebih baik bagi suami saat menggaulinya, lebih disukai suami, dan lebih mengggairahkan. Pasalnya, apabila tukang khitan mengambil seluruh organ khitan (klitoris), maka birahi si wanita loyo sehingga ia tidak bergairah untuk berhubungan intim. Akibatnya, kenikmatan suami berkurang. Namun, jika wanita dibiarkan apa adanya dan organ khitannya tidak dipotong sama sekali, maka syahwatnya akan tetap meluap-luap sehingga ia tidak cukup terpuaskan dengan hubungan intim suaminya. Akibanya, ia dapat terperosok dalam perzinaan. Jadi, memotong sedikit ujung klitoris berfungi untuk menyeimbangkan syahwat dan perilaku.”
Hendaklah diketahui bahwa khitan wanita merupakan hal yang ma’ruf (dikenal umum, red) di kalangan para Salaf. Barangsiapa yang ingin menambah panjang lebar penjelasan tentang hal ini, silahkan melihat kitab Silsilatul Ahaditsush Shahihah (2/353). Karena sesungguhnya Syaikh Al Albani – semoga Allah melimpahkan pahala untuk beliau – telah menyebutkan banyak hadits dan atsar yang berkaitan dengan hal ini di dalam kitab tersebut.
======== Kalau sesuatu itu datang dari Allah dan Rasulnya, maka saya akan “Sami’na wa Atho’na”, Saya dengar dan saya taati…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar