Musiron/Republika
ilustrasi
Perempuan paruh baya itu, datang tergopoh ke madrasah sederhana di bilangan Jakarta Selatan. Ia menemui pengelola madrasah, sambil menenteng seikat sapu lidi. Tak banyak kata, ia langsung menyerahkan sapu lidi itu. “Saya sudah tua, belum bisa beramal banyak. Saya hanya bisa memberi sapu lidi ini untuk meyapu sampah”, wasiatnya, sembari menolak im balan dari pengurus madrasah.
Kejadian ini agak tak lazim. Sang nenek datang dari jauh, hanya untuk menyerahkan seikat sapu lidi. Di bawah cuaca terik siang itu, ia membagikan tiga ikat sapu lidi, di tiga sekolah yang berbeda. Sembari menyeka peluh, orang tua itu mengurai sebab ia sedekah sapu lidi.
Andaikan kaya, ia ingin mewakafkan tanah untuk masjid dan sekolah, serta menunaikan zakat tiap bulan. Jika ia penguasa, ingin berbuat adil, memihak yang lemah dan menolong yang menderita. Tapi, hingga senja menjelang, Allah belum mengabulkan niat-niat mulia itu. Maka, ia mewujudkan dengan caranya sendiri.
Dengan tenaga yang tak lagi muda, dia minta beberapa lembar daun kelapa ke tetangganya. Dirautnya satu persatu daun kelapa itu, hingga menjadi tiga ikat sapu lidi. Ikatan sapu lidi itu, ia maknai sebagai bentuk persatuan umat. Sapu lidi juga untuk membersihkan sampah, wujud dari gerakan menyapu sampah masyarakat, seperti maling, koruptor, dan penyakit sosial lainnya yang merugikan kehidupan bermasyarakat.
Ia memilih sekolah, harapannya sapu lidi dipahami maknanya. Sebuah generasi yang baik ditempa di sekolah yang mendidik murid-muridnya taat pada kebersihan. Sampah hanyalah simbol kotor yang sejatinya juga melekat pada diri manusia. Sapu lidi dalam diri manusia, adalah bentuk istighfar, evaluasi diri, dan pikiran-pikiran positif yang menuntun manusia menjadi manusia sesungguhnya. Manusia yang taat pada Tuhan, memanusiakan manusia lainnya, tidak berlaku kotor dan berusaha adil.
Seikat sapu lidi, adalah bentuk persatuan umat. Sebuah generasi harus dipahamkan, bahwa perjuangn mencapai kejayaan, tidaklah mampu seorang diri. Berjamaah, itulah kenapa Islam jaya dan membumi sebagai agama samawi di bumi ini. Sifat suka tercerai-berai, bukti sebuah bangsa yang rapuh. Mudah diadu domba dan terjajah.
Dengan bahasa dan sudut pan dang nya itulah, orang tua itu memberikan sapu lidi ke sekolah. Dilihat wujudnya, memang tidak istimewa. Tapi, wasiat yang menyertai sapu lidi itu, ruh yang membuat nasihat dalam seikat sapu lidi menjadi hidup. Ia hanya orang biasa, tapi ia ingin menutup usia dengan makna hidup yang luar biasa.
Setelah menyerahkan sapu lidi, perempuan tua itu pamit. Ia telah menunaikan niat mulianya, dengan cara yang diyakininya sampai tujuan. Ini pelajaran hidup yang bisa dilakukan oleh semua kita. Membuat perubahan positif dari cara-cara sederhana. Mari, kita coba sekarang.
Red: irf
Rep: Sunaryo Adhiatmoko
Sumber: Baznas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar